AHLAN WA SAHLAN BI HUDHUURIKUM

SESUNGGUHNYA ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA. JALAN KEHIDUPAN MANUSIA DARI DUNIA MENUJU ALLAH SWT, RAHMAT DAN SURGANYA. RASULULLAH SAW ADALAH PEMANDU DAN PEMBIMBINGNYA.

Jumat, 24 Desember 2010

Hikmah Hijrah Rasulullah SAW

Hijrah secara makna bahasa berasal dari kata hajara yang berarti pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain[2], pindah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain[3], atau meninggalkan sesuatu[4].
Para ulama kemudian menyatakan bahwa dari peristiwa hijrah Rasulullah SAW memiliki dua makna yang harus diaplikasikan dalam kehidupan kita, yaitu hijrah makani (hijrah dalam konteks fisik) dan hijrah ma’nawi (hijrah pada konteks non fisik).
Hijrah Makani
Jika kita melihat peristiwa Hijrah pada masa Rasulullah SAW, maka kejadian hijrah tersebut dilakukan sebanyak 3 kali: Hijrah yang pertama dilakukan oleh Nabi SAW adalah ke daerah Habasyah/Ethiopia pada th ke-5 bi’tsah (kenabian)[5], ke sebuah daerah diujung Utara Afrika. Para sahabat yang berangkat hijrah ke Habasyah ini bukan orang-orang yang lemah-lemah sebagaimana diperkirakan orang, sebaliknya mereka yang berangkat adalah para sahabat yang tinggi status sosialnya (Utsman ra, Ja’far ra, Abdurrahman bin Auf ra)[6]; bahkan jika kita jeli melihat kitab-kitab Sirah, maka para sahabat yang status sosialnya rendah tidak ikut (Bilal ra, Zaid ra, Yasir ra, Sumayyah ra, Yasir ra, dll). Mengapa demikian? Menurut DR al-Buthy hal ini dikarenakan bahwa sahabat yang kuat-kuat tersebut mulai tidak sabar dan mulai mengadakan perlawanan, padahal tahapannya belum sampai (ingat peristiwa perlawanan yang dilakukan oleh sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash ra). Hal di atas juga terlihat dengan pesan Nabi SAW, kepada Ja’far dan kawan-kawan saat akan berangkat: “Disana ada raja yang tidak menyakiti, bandingkan dengan perkataan Nabi SAW kepada para sahabat yang berangkat hijrah ke Madinah: “Allah sudah menyediakan bagi kalian ikhwan-ikhwan, rumah-rumah dan tempat bekerja.”[7]
Peristiwa hijrah yang kedua dilakukan ke Tha’if (di sebelah Tenggara Makkah)[8]. Peristiwa hijrah yang kedua dilakukan langsung oleh Rasulullah SAW sendiri bersama sahabat Zaid bin Haritsah setelah wafatnya Khadijah ra dan Abu Thalib, dimana siksaan yang dilakukan pada diri Nabi SAW oleh kaum kafir semakin menjadi-jadi, sehingga beliau SAW merasa bahwa Makkah sudah tdk kondusif lagi bagi dakwah, mengapa Tha’if yang dipilih? Sebab yang pertama dikarenakan letaknya yang strategis dari Makkah (100 km), dan dalam perniagaan orang Makkah harus melewati Tha’if. Sebab yang lainnya karena orang Tha’if punya ‘izzah terhadap orang Makkah (berhala Latta sebagai saingan Hubal), sehingga orang Tha’if tidak mau taat pada orang Makkah, dan orang Makkah pun segan pada orang Tha’if. Sebab yang ketiga adalah karena Tha’if tidak pernah sekalipun terlibat peperangan melawan Nabi SAW, termasuk saat perang Ahzab; baru 1 bulan setelah Ramadhan fathu Makkah (Makkah ditaklukkan) orang Tha’if mulai bergerak memerangi Nabi SAW melalui peperangan Hunain[9]. Di Tha’if Nabi SAW hanya menemui 3 orang, tidak sebagaimana di Makkah, beliau SAW mengajak semua orang. Saat hijrah kedua ini beliau ditolak dakwahnya dan dilempari batu serta dianiaya, walaupun demikian saat akan pulang beliau SAW bertemu seorang budak Nasrani bernama Addas yang beriman kepada beliau SAW[10] demikian pula beriman segolongan Jin pada beliau SAW[11], lalu saat pulang ke Makkah beliau SAW meminta perlindungan kepada tokoh Quraisy bernama Muth’im bin Adi[12].
Peristiwa hijrah yang ketiga dilakukan oleh para sahabat ra dan Nabi SAW secara bergelombang ke Madinah (tahun 14 bi’tsah), yang diawali oleh Abu Salamah RA[13], kemudian diikuti kemudian oleh Mush’ab bin Umair RA[14]. Adapun hadits tentang Umar RA yang berhijrah secara terang-terangan di siang hari adalah dha’if maka tidak bisa digunakan sebagai hujjah[15], demikian pula hadits yang menyebutkan beliau SAW saat tiba di Madinah disambut dengan nasyid Thala’al Badru ‘Alayna juga dha’if sanadnya[16], sementara hadits tentang burung dara dan laba-laba yang menutupi pintu gua diperselisihkan sanadnya[17]. Pada saat tersebut Abu Bakar RA saat perjalanan setiap ditanya siapa temannya (Muhammad SAW) menjawab: Ia adalah penunjuk jalanku[18] (yang ia maksudkan penunjuk jalan kepada Islam), hadits ini juga menjelaskan bolehnya melakukan tauriyyah. Dalam kaitan pembahasan ini pula, perlu saya sampaikan bahwa peristiwa Hijrah Nabi SAW tidak terjadi pada bulan Muharram, melainkan berdasarkan hadits shahih terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal[19]. Namun demikian, karena bulan Islam ada 12 bulan[20] dan dimulai dari Muharram, maka penanggalan tahun Hijrah juga dimulai pada bulan Muharram tersebut.
Mengapa orang Madinah begitu mudah masuk Islam? Sebab yang pertama adalah karena interaksi mereka yang intens dengan Yahudi: Yahudi selalu mengancam akan memerangi mereka dengan Nabi yang akan diutus, dan ini berbekas dihati mereka, sehingga saat mendengar ada Nabi, mereka takut didahului oleh Yahudi dalam beriman kepada Nabi SAW. Sebab yang kedua adalah karena di Madinah tidak ada suku/kelompok yang dominan, selalu terjadi peperangan terus-menerus (100 tahun) antar suku yang ada, sehingga situasi kacau dan tidak solid.
Dari peristiwa hijrah makani yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di atas kita mendapatkan pelajaran yang dapat kita ambil dan laksanakan di antaranya adalah:
1. Bahwa wajib bagi setiap muslim untuk berusaha mengubah kemunkaran sekuat tenaganya, dan jika ia tidak mampu maka hendaknya ia meninggalkan tempat kemunkaran itu dan tidak berdiam di tempat kemunkaran/kemaksiatan tersebut. Tetapi selama usaha perubahan masih dapat dilakukan walaupun sedikit demi sedikit, maka tidak mengapa ia berdiam di sana sambil terus mengupayakan ishlah hal ini juga berlaku di pemerintahan[21].
2. Bahwa betapa rapinya Nabi SAW dalam merancang dan membuat “program” dakwah, walaupun dakwah ini akan ditolong oleh Allah SAW (In tanshurullaha yanshurkum …), dan beliau SAW adalah seorang Nabi yang dijamin takkan dicelakai dan takkan dapat dikalahkan (wallahu ya’shimuka minan nas …) tetapi beliau SAW tetap menjalani semua sunnatullah dalam keberhasilan dakwahnya sebagaimana manusia biasa lainnya.
3. Bahwa sebagai seorang aktifis dakwah, maka beliau SAW selalu kreatif dengan berusaha mencoba berbagai inovasi baru dalam dakwahnya. Terobosan-terobosan yang beliau SAW lakukan ini nampak dari pemilihan berbagai tempat beserta alasan-alasan yang relevan yang melatar-belakanginya.
4. Bahwa sebagai pemimpin (qiyadah), maka beliau SAW sangat memikirkan masyarakatnya, segala cara beliau SAW usahakan agar para sahabatnya tidak disiksa dan diprovokasi oleh pihak lain, beliau SAW pula yang paling akhir keluar dari Makkah setelah semua sahabatnya selamat.
5. Bahwa boleh bekerjasama dengan seorang fajir atau non muslim sekalipun, jika untuk kemaslahatan dakwah yang jelas, berdasarkan peristiwa Muth’im bin Ady di atas, jika sepanjang bukan ber-muwalah (memberikan loyalitas)[22] pada mereka, melainkan mengadu orang Fajir dengan orang Fajir yang lainnya atau orang zalim dengan orang zalim lainnya[23].
6. Lalu masih bolehkah Hijrah (secara makani) pada saat ini? Bukankah Ada hadits yang berbunyi: La hijrata ba’dal fath (tidak ada lagi hijhrah setelah Fathu Makkah)[24]. Maka Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa hal tersebut adalah dalam kondisi normal, namun hukum tersebut bisa berubah menjadi wajib, mubah ataupun haram tergantung illat (sebab)-nya[25].


___
Catatan Kaki:
[1] Diolah dari makalah ceramah Shubuh (talkshow) saya di mesjid Al-Istiqamah Balikpapan, Ahad 4-Muharram-1429
[2] Ash-Shihhah fil Lughah, II/243
[3] Lisanul ‘Arab, V/250; Tajul ‘Arus, I/3623
[4] Al-Qamus Al-Muhith, I/637
[5] Fathul Bari’, VII/187
[6] Sirah Ibni Hisyam, I/133
[7] Sirah Nabawiyyah, hal. 119
[8] Thabaqat Ibni Ishaq, I/196
[9] Sirah Nabawiyyah Al-Buthy, hal. 123
[10] Sirah Ibni Hisyam, I/381
[11] Shahih Bukhari, VI/73
[12] Ibid, dan lih. Juga Thabaqat Ibni Ishaq, I/196
[13] Shahih Muslim, II/632
[14] Fathul Bari’, VII/260
[15] Difa’ Hadits An-Nabawi, oleh Syaikh Albani
[16] Fathul Bari’, VII.211; Zadul Ma’ad, III/551; Syarhul Mawahib Liz Zarqaniy, I/359-360
[17] Syaikh Albani men-dha’if-kannya, lih. Adh-Dha’ifah, III/339
[18] Fathul Bari’, VII/249
[19] HR Al-Hakim, III/8 dengan sanad-hasan, Ibnu Hajar juga men-shahih-kannya lih. Fathul Bari’, VII/238
[20] QS At-Taubah, 9/36
[21] Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah, XXX/356-360
[22] Sehingga ayat yang tepat dalam pembahasan ini, bukan QS Al-Kahfi (18/51) tetapi QS Al-An’am (6/129)
[23] Al-Muhalla, Ibnu Hazm, XII/523-525
[24] HR Bukhari, X/174 no. 2783; dan HR Muslim XII/334 no. 4938
[25] Tafsir Al-Qurthubi, V/35; lih. juga Ibn Arabi dalam Ahkamul Qur’an, II/887

Tidak ada komentar:

Posting Komentar